KEDAINEWS — Harapan untuk mencari ilmu agama di pondok pesantren berubah menjadi trauma mendalam bagi sejumlah santriwati di Lombok Barat. Seorang ustaz berinisial AF resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pelecehan seksual yang mengguncang lingkungan pendidikan agama di Nusa Tenggara Barat.
Polresta Mataram menetapkan AF sebagai tersangka pada Rabu (23/4) malam, setelah penyidik melakukan gelar perkara. Penahanan dilakukan segera setelah penetapan tersangka di ruang tahanan Polresta Mataram.
Korban Bertambah, Luka Kian Dalam
Kepala Satuan Reskrim Polresta Mataram, AKP Regi Halili, mengatakan bahwa tersangka bersikap kooperatif dan telah mengakui seluruh perbuatannya. Proses hukum berjalan cepat sejak laporan pertama masuk pada Rabu (16/4). Namun, kenyataan di balik kasus ini semakin membuat hati pilu.
“Korban persetubuhan ada lima orang, sementara korban pencabulan awalnya empat orang, bertambah jadi lima karena satu korban mengalami keduanya,” ungkap Regi, Kamis (24/4).
Lebih menyayat hati, jumlah korban terus bertambah. Tiga santriwati lagi datang memberikan keterangan, membuat total korban saat ini mencapai 13 orang. Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB bahkan mencatat dugaan puluhan korban lainnya yang belum melapor.
Film Walid Jadi Pemantik Keberanian Korban
Kasus ini terungkap bukan semata karena proses hukum, tapi juga karena keberanian para korban yang muncul usai menonton film Bidaah Walid. Film itu membuka mata dan membangkitkan keberanian mereka untuk bersuara.
Para korban menyampaikan keberanian mereka kepada KSKS NTB, yang kemudian mendampingi proses pelaporan di Polresta Mataram.
“Film tersebut memberikan kekuatan kepada para korban untuk melawan. Ini bukti betapa pentingnya ruang-ruang edukasi dan keberpihakan pada korban,” kata Joko Jumadi, Ketua KSKS NTB.
Pendidikan Harusnya Aman, Bukan Menyakitkan
Kasus ini menampar keras sistem pengawasan dan perlindungan di lembaga pendidikan, khususnya pesantren. Tempat yang seharusnya menjadi benteng moral justru ternodai oleh perilaku bejat dari oknum yang seharusnya membimbing.
Kini, para korban tak hanya membutuhkan keadilan hukum, tetapi juga pemulihan psikologis dan dukungan agar bisa bangkit dari trauma mendalam.