KEDAINEWS.COM – Penulis yang bernama asli Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin itu merupakan salah seorang penulis perempuan Indonesia paling produktif. Tercatat ia telah menulis lebih dari 20 karya sejak “Dua Dunia”, buku pertamanya yang diterbitkan pada 1972. Dalam satu kesempatan Nh Dini menganggap menulis sebagai kegiatan yang membebaskan, semacam sarana untuk membebaskan diri dan mencurahkan perasaan.

Selasa sore (4/12/2018) Nh Dini meninggal dunia akibat kecelakaan usai menjalani program rutin akupuntur. Kecelakaan terjadi saat melewati turunan Gombel, mobil yang dikendarai tertimpa muatan truk yang ada di depannya.

Dikutip dari tulisan Arman Dhani melalui Geotimes, Nh Dini Lahir di Semarang pada 29 Februari 1936 kecintaannya pada literasi merupakan produk pendidikan modern dari ayah dan ibunya. Ibunya memperkenalkan kegiatan membaca melalui Panji Wulung dan Penyebar Semangat. Sejak kecil ia telah diajari berkomunikasi dalam bahasa Belanda, membaca dan menulis dalam bahasa jawa juga latin, serta sesekali membatik.

Rentang jejak kepenulisan Nh Dini dimulai saat ia menulis cerpen “Pendurhaka” yang dimuat di Majalah “Kisah” Edisi II November 1954. Saat itu kisahnya mendapat perhatian khusus dari HB Jassin. Persinggungan Jassin dan Dini ini melahirkan hubungan yang sangat intens. Keduanya saling mengirim surat, kebanyakan tentang diskusi sastra dan juga sesekali tentang bagaimana proses kreatif Dini menulis di awal-awal masa karirnya. Hingga pada akhirnya Dini menelurkan karya kumpulan cerpen “Dua Dunia” pada 1956.

Net

Meski dekat dengan HB Jassin, Nh Dini dikenal sangat membenci kritikus. Ia menyebut kritikus sastra sebagai orang yang hanya bisa makan dari kehidupan orang lain. Pada kesempatan yang lain, 20 Maret 1981 di hadapan ratusan siswa Akademi Pemerintah Dalam Negeri (APDN), ia menyatakan tak pernah peduli dengan kata-kata kritikus. Baginya ia menulis kehidupan dan bukan karya, sehingga karya-karyanya bicara tentang kenyataan yang dibalut dalam fiksi dan bukan sebaliknya. “Apa itu kritikus? Banyak pengkritik mencari nafkah dari hasil karya orang lain,” katanya.

Sastra tetap menjadi impian Dini meski pada selepas lulus sekolah ia bekerja di Garuda Indonesia Airlines Kemayoran. Saat menjadi pramugari itulah ia menemukan jodoh suami. Empat tahun setelah menjadi pramugari Dini menikah dengan Yves Coffin, konsul Perancis di Kobe Jepang. Setahun kemudian lahir anaknya Marie Claire Lintang. Selama menjadi istri Coffin, Ia ikut suaminya yang dubes di Kamboja, Amerika dan Jepang. Sedangkan anak bungsunya, Piere-Louis Padang kita kenal sebagai sutradara dari film masyur Despicable Me 2.

Salah satu titi mangsa dimana Nh Dini mulai mendapatkan reputasi sebagai penulis adalah saat ia menerbitkan novel “Pada Sebuah Kapal”. Karya ini dinilai sebagai salah satu tonggak novel paling penting dalam sejarah sastra Indonesia. Muhidin M Dahlan, kritikus dan kronikus sastra asal Jogjakarta, menilai buku ini sebagai satu dari 100 karya sastra yang wajib dibaca sebelum mati. Karya ini merupakan salah satu pioner ide-ide emansipasi peran perempuan yang tak lagi hanya menjadi pekerja di rumah, tapi juga setara dan berdaulat.

Net

Pada satu wawancara di majalah Femina no. 4 tahun 1979 misalnya Nh Dini berkata “Freesex boleh saja asal tidak mengganggu orang lain. asal tidak terlalu dipamerkan”. Kata-katanya ini sempat membuat polemik dan pergunjingan hebat. Karena dianggap tidak mencerminkan budaya timur yang sopan dan menjaga diri. Tapi ia menjelaskan bahwa sebagai orang tua ia tak ingin setengah-setengah. “Saya memakai norma barat sepenuhnya. Saya tidak setengah-setengah. Saat bicara dengan anak saya saya tak pernah anggap mereka anak kecil,” katanya.

Sikap keterusterangan Nh Dini ini lantas melahirkan perlawanan dari masyarakat. Beberapa kelompok guru melarang murid-muridnya membaca karya dini. Seperti Pada Sebuah Kapal dan La Barka yang dianggap cabul dan tidak mencerminkan adat ketimuran. Hal ini lantas tak membuat Dini tunduk. Ketika Kompas mewawancarainya perihal sikap Dini, ia berkata bahwa apa yang ditulisnya adalah kenyataan dan kehidupan. Bahkan ia melahirkan polemik baru saat ditanya apa agamanya, dini menjawab “agama saya adalah kebaikan,” tegasnya.

Sebagai penulis Nh Dini memiliki stamina dan kedisiplinan tinggi. Ritus hariannya adalah bangun pagi lantas menulis sampai pukul 11 siang. Setelah itu ia akan menyimpan manuskrip dokumen naskahnya itu ke dalam sebuah map. Jika sedang mandeg atau tidak ada ide, ia akan berhenti menulis sebuah cerita, dan memulai cerita yang lainnnya. Namun belakangan rutinitas ini kerap terganggu karena usia Dini yang bertambah tua. Kegiatannya lantas beralih menjadi kegiatan menggambar yang sempat ia pelajari dari membatik dan melukis di jepang.

Net

Pada 1986 Nh Dini membuka taman bacaan untuk anak anak di Kampung Sekayu, Semarang, atas biaya sendiri. Tempat itu ia beri nama Pondok baca Nh Dini kegiatannya membaca buku yang baik secara bertahap, latihan meringkas cerita yang sudah dibaca dan berdiksusi. Atas kerjanya ini ia pernah diundang ke Jepang atas undangan Japan Foundation.

Berbagai penghargaan didapatkan Dini seperti penghargaan dari South East Asia writer award dari Thailand, penghargaan sebagai duta pengetahuan dari National Geographic, dan yang terbaru dari Yayasan Bakrie pada 2011. Pada sebuah kesempatan Dini sempat berkata bahwa ia lebih memilih uang daripada penghargaan. Biaya pengobatan penyakit yang dideritanya menjadi salah satu alasan yang paling krusial.

Meski telah banyak memiliki karya dan penghargaan. Tak membuat hidup Nh Dini menjadi makmur. Saat tua ia hidup di panti wreda dan sempat menjual seluruh hartanya untuk biaya berobat. Pernah dalam satu waktu ia terpaksa menjual seluruh piala dan sertifikat penghargaan senilai 200.000 karena tak memiliki lagi uang. Hal ini lantas pernah menjadi perhatian dan sempat membuat publik sastra bereaksi. Bersama Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, beberapa relawan melakukan acara penggalangan dana melelang lukisan Nh Dini untuk biaya pengobatannya.

Sebagai Feminis, sikap Nh Dini tergambar dari karya-karyanya. Seperti “Kemayoran” dan “Pada Sebuah Kapal”. Karakter perempuan Nh Dini merupakan manusia yang independen, menolak tunduk, dan kerap kali keras kepala. Ia menuliskan karakter perempuan yang kuat di zaman ketika banyak tokoh perempuan dalam novel-novel pop mengalami damsel in distress, rapuh dan butuh ditolong.

Di novel “Pada Sebuah Kapal” sosok Sri yang semula rapuh, menjadi tercerahkan dan merdeka, setelah berinteraksi dengan peradaban barat yang digambarkan oleh laki-laki bernama Michael Dubaton. Bahwa perempuan tak hanya mengurus suami, menjadi istri dan merawat anak, mereka bisa lebih daripada itu.

Net

Kini warisannya menjadi penting untuk dibaca kembali, sebagai pengingat ada penulis yang berani membuat karakter perempuan yang tegar dan tak mau ditindas laki-laki.

Saat masih 52 tahun, perempuan kelahiran Kota Semarang 29 Februari 1936 ini juga sudah memikirkan soal kematian. Dia bahkan mengantarkan sendiri surat wasiat itu ke Kantor Notaris Nyonya Lenie Hardjanto Lubis di Semarang, tempat tinggalnya. Isinya: Dini minta dibakar saja kalau kelak ia meninggal.

Seperti dikutip Majalah Tempo edisi 20 Juli 1991, Dini menjelaskan alasannya.

“Lebih praktis dibakar, tidak membutuhkan tanah kuburan,” ujar sastrawan ini.

Harga tanah yang terus melambung dan jumlah orang yang terus bertambah juga jadi pertimbangannya.

“Tanah lebih penting untuk bertani, bukan untuk kuburan,” kata NH Dini yang juga anggota Green Peace, organisasi pecinta lingkungan.

Kabar terakhir menyebutkan Abu kremasi novelis Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin alias Nh Dini tidak jadi dilarung karena direncanakan akan dibawa oleh salah satu anaknya. Dini memiliki dua orang anak dari pernikahannya dengan Yves Coffin, Pierre-Louis Padang Coffin dan Marie-Claire Lintang.

 

Previous post Sacramental Wine, Peluncuran Anggur Misa Produk Sababay Winery
Next post 11 Cara Hilangkan Karang Gigi Tanpa Dokter Gigi