Umumnya, pengusaha film menginginkan film produksinya laris manis bak kacang goreng, sehingga keuntungan mengalir deras ke sakunya. Tak demikian dengan Angga Dwimas Sasongko, Founder & CEO Visinema Pictures. Sejak awal ia mengatakan, berbisnis film baginya bukan sekadar taking profit atau menjadi sebuah komoditas yang menguntungkan.

Memang, film adalah salah satu instrumen bisnis, tetapi film juga instrumen seni,” kata Angga. Ia berupaya menjaga idealisme sebagai pekerja seni. Melalui Visinema, ia berusaha membawa film di titik yang seimbang, antara estetika dan komersial. “Sehingga kami menyajikan kepada publik, kegundahan-kegundahan yang kami rasakan dan pikirkan,” katanya menegaskan.

Visinema Pictures (Content Creation Company) berdiri pada 2008 saat Angga berumur 23 tahun. Sebelumnya, ia sudah berkecimpung di dunia film. Umur 19 tahun telah menjadi sutradara Foto Kotak dan Jendela, film festival atau filmindie yang jauh dari bentuk komersial. Pada usia 21 tahun, ia bekerja di perusahaan televisi di Malaysia. Namun, hanya bertahan delapan bulan. Setelah itu, kembali ke dunia film, meyutradarai Jelangkung 3, film pertamanya yang tayang di bioskop.

Dari honor Jelangkung 3 inilah sebagian saya gunakan untuk mendirikan Visinema Pictures,” ungkap Angga. “Visinema kami rintis dari nol, mulai dari urusan legal, cari notaris, sewa kantor di garasi teman di Jati Padang, beli meja dan komputer, hingga merekrut satu karyawan, semua kami jalankan sendiri,” lanjutnya mengingat kiprahnya 10 tahun lalu.

Founder & CEO Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko (Istimewa)

Saat itu obsesi Angga cuma ingin mempunyai “rumah” sendiri, sehingga bisa berkarya sesuai dengan yang diinginkan dan independen. Misalnya, ia tak ingin menempatkan jasanya sebagai production house (PH), melainkan lebih kecontent creation company, yang menurutnya lebih tepat. “Soalnya, model usaha kami berbeda dengan production house. Visinema merilis konten sendiri. Adamanaging (intellectual property/IP), ada distribusi, dan punya platform,” paparnya. Jasa-jasa itu menjadi diferensiasi yang membedakan Visinema dengan PH-PH lain.

Diakui sutradara Filosofi Kopi ini, membangun idealisme tidak semudah membalikkan tangan. Sehingga, idealisme Visinema dilakukan secara bertahap. Di lima tahun pertama, pihaknya masih mengerjakan commissioning project. Yaitu, proyek yang berdasarkan order, seperti iklan, video klip, dan corporate video. Setelah itu, Visinema mendapat proyek-proyek dari LSM yang menangani korban bencana. “Kami ngumpulin musisi, aktor, dan pekerja seni lain untuk mengumpulkan bantuan di kantor kami. Sampai akhirnya bantuan itu kami serahkan kepada yang berwenang,” kata Angga yang bangga bisa turut berbagi.

Di 2013 setelah lima tahun berjalan, Angga memutuskan tidak lagi menerimacommissioning project. “Jadi, kami bikin film sendiri, cari investor sendiri, rilis segala hal sendiri,” katanya. Dalam perjalanan itu, manajemen Visinema bertemu dengan Ancora Capital pimpinan Gita Wirjawan. Perkenalan berlanjut, bahkan Gita sejak dua tahun lalu menjadi seed investor Visinema. “Beliau adalah chairman Visinema. Beliau orang yang sangat menghargai seni. Sebagai investor, beliau memiliki portofolio yang unik-unik,” papar Angga. Sampai kini ia telah memproduksi tujuh film, salah satunya Cahaya dari Timur: Beta Maluku. “Film pertama yang dari awal sampai akhir kami urus sendiri dan akhirnya mendapat Piala Citra,” ujarnya bangga.

Menurut pria kelahiran Jakarta, 11 Januari 1985, yang disebut-sebut sebagai salah satu sineas terbaik Indonesia karena film-film besutannya selalu berhasil menembus nominasi berbagai ajang penghargaan perfilman Indonesia ini, setiap film bisa memilih model bisnis yang berbeda-beda. Ada film perusahaan bekerjasama dengan film funding, seperti di film Keluarga Cemara yang sebentar lagi tayang. “Kami bekerjasama dengan Ideosource milik Pak Andi Budiman. Ada juga co-production dengan film company lain seperti di film Surat dari Praha, yakni dengan Thirteen Entertainment. Ada juga yang fully fundedsendiri, ada juga yang kerja sama dengan private investor. Pokoknya, modelnya bermacam-macam,” Angga menjelaskan.

Dari berbagai model bisnis tersebut, menurut Angga, yang terpenting adalah bagaimana film bergerak menjadi sebuah ekosistem. Seperti dalam film Filosofi Kopi yang diproduksi tahun 2015, Visinema mulai belajar melihat bahwaintellectual property (IP) tidak hanya sebagai sebuah cerita, tetapi juga sebuahvalue yang bisa dimonetisasi di banyak platform. Contohnya, Filosofi Kopi, yang telah dikembangkan menjadi brand kopi sachet, ritel, kedai, apparel, dsb. “Jadi, sebelum membuat film, kami juga memikirkan berbagai kemungkinan channel atau platform apa saja yang bisa dimonetisasi. Itu yang saya sebut sebagaideveloping IP. Bagaimana supaya IP ini bisa hidup di banyak medium, di berbagai lini bisnis,” paparnya. Menurut Angga, Filosofi Kopi sudah punya F&B, ritel, bahkan sedang membangun roastery house.

Melihat perkembangan Filosofi Kopi yang memuaskan, kini Angga menjadikan Filosofi Kopi sebagai holding, setara dengan Visinema. Jadi, Visinema merupakan holding untuk beberapa perusahaan, dan Filosofi Kopi juga mempunyai beberapa perusahaan. “Saya CEO di dua-duanya,” ujar Angga yang senang memiliki tim yang solid dan luar biasa. “Mereka terdiri dari anak-anak muda yang cerdas, passionate, dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Rata-rata usianya 25-26 tahun,” katanya.

Tim Angga kini terdiri dari tujuh produser, tiga produser eksekutif, serta 78headcount. Adapun total karyawan Visinema ada 78 orang, sedangkan Filosofi Kopi sekitar 60 orang. “Saya terlibat langsung di semua hal. Saya tidak punya COO. Jadi, hampir semua operasional sehari-hari juga saya yang mengerjakan,” Angga menjelaskan dengan ringan.

Angga Dwimas Sasongko (Istimewa)

Baginya, sejauh ini perkembangan dua perusahaannya cukup menggembirakan. Ia pun semakin belajar bahwa untuk mengundang investor, produk harus menarik dari berbagai sudut pandang. Selain itu, skala perusahaan juga penting. Misalnya, kalau di tahun sebelumnya hanya memproduksi dua film, di tahun berikutnya akan memproduksi 5-6 film. Kalau tahun sebelumnya hanya menggunakan satu sutradara, tahun depan harus ada banyak sutradara, penulis, ataupun produser baru yang terlibat. “Target kami ke depan adalahscale up dari segala sisi, mulai dari production capacity, distribution yang menuju ke regional, dll.,” kata suami Anggia Kharisma yang juga menjadi produser di Visinema ini.

Sekarang Visinema tengah merampungkan film Keluarga Cemara. Seperti film-film sebelumnya, Keluarga Cemara juga akan dimonetisasi dengan membangun ritel dan menawarkan experience-nya. Menurut Angga, IP punya universe yang lebar. Artinya, turunannya bisa banyak: bisa menjadi game, ritel, dsb. Yang harus diingat, tidak setiap film bisa menggunakan pendekatan yang sama. “Jadi, kami memilih judul film yang dirasa cukup kuat untuk dikembangkan IP-nya, biasanya kami melakukan uji coba dulu, experimental project dulu. Kalau tidak jalan, ya di-cut, lanjut ke IP selanjutnya,” ungkap Angga. Ia mencontohkan proyek eksperimen Filosofi Kopi, kedai kopi di Melawai, yang ternyata baru tiga bulan berjalan sudah balik modal.

Nah, dalam Keluarga Cemara, karena filmnya lekat dengan makanan opak yang dijajakan Euis, salah satu karakter dalam film, rencananya menjelang rilis film akan dipasarkan opak yang dikemas seperti snack masa kini di ritel besar. “Nah, ini tahapan experimental project. Kalau berhasil, kami akan terus kembangkan, mungkin akan membangun rumah yang mirip seperti di film lalu dijadikan semacam farm house, seperti dilakukan oleh industri film di Amerika,“ kata Angga yang optimistis dapat melaksanakannya.

Previous post “Motorcycle of The Year” 2018 Punya Warna Baru !
Next post 5 Tips Cerdas Agar Terhindar dari Berita Hoax, Jangan Mau di Provokasi!